Anak Menjerit, Orang Tua Diam: Ketika Pesantren Jadi Trauma Awal
Di balik pagar tinggi pesantren, lantunan ayat suci terdengar syahdu. Namun, sesekali suara lain menyela keheningan: jeritan anak kecil yang belum genap tujuh tahun, memanggil ibunya dengan isak tangis yang memecah hati. Bagi sebagian orang tua, momen ini mungkin dianggap sebagai “masa adaptasi”. Tapi bagi sang anak, itu bisa jadi awal dari luka emosional yang panjang, sebuah trauma yang kelak tumbuh bersamaan dengan hafalan-hafalan suci di kepalanya.
Cinta Agama yang Terluka oleh Ketergesaan
Orang tua yang memondokkan anak sejak dini sering kali berangkat dari niat mulia: menanamkan cinta pada agama. Namun, sebagaimana nasihat para ahli pendidikan anak, niat yang baik harus diiringi cara yang tepat dan empatik. Anak usia 5-7 tahun belum memiliki kematangan emosi untuk menghadapi perpisahan permanen dengan orang tua, terutama ibu. Dalam usia ini, figur ibu adalah pusat keamanan dan identitas anak.
Anak yang dipisahkan secara tiba-tiba dan tanpa persiapan bisa mengalami distress psikologis yang parah. Ia menangis bukan karena membenci agama, melainkan karena belum memahami konsep “ditinggal”. Trauma awal ini, jika tidak ditangani, bisa berkembang menjadi masalah psikologis jangka panjang, seperti kecemasan, gangguan kelekatan, hingga depresi masa kanak-kanak.
Fenomena “Toxic Religiosity” dalam Pola Asuh
Dalam masyarakat kita, masih kerap ditemui pandangan bahwa semakin dini anak dikenalkan pada agama, maka semakin baik. Ini tidak sepenuhnya salah. Namun masalah muncul ketika pendekatan yang digunakan mengabaikan kesiapan psikis dan emosi anak. Fenomena ini bisa dikaitkan dengan istilah toxic religiosity, yakni ketika ekspresi keberagamaan dijalankan dengan cara yang merugikan secara psikologis atau sosial.
Beberapa orang tua merasa telah “menunaikan kewajiban” dengan memondokkan anaknya sejak kecil. Mereka tidak menyadari bahwa tanggung jawab orang tua bukan hanya memberi pendidikan formal keagamaan, tetapi juga menciptakan ruang aman, nyaman, dan penuh cinta agar anak bisa bertumbuh dengan sehat. Dalam banyak kasus, pesantren pun menerima anak-anak ini tanpa skrining kesiapan mental, hanya karena kebutuhan kuota atau karena dianggap sebagai ladang amal.
Kisah Nyata: Rindu yang Tak Terpahami
Seorang guru BK di sebuah pesantren ternama menceritakan pengalaman menyentuh. Ia mendampingi seorang santri kecil berusia 6 tahun yang menangis setiap malam selama lebih dari dua bulan. Anak itu tidak mau makan, tidak mau bicara, hanya menulis satu kalimat di buku hariannya berulang-ulang: "Aku ingin pulang."
Saat akhirnya dipanggil orang tuanya, mereka justru marah. "Kita sudah bayar mahal-mahal. Masa baru dua bulan minta pulang?" Mereka lupa bahwa pendidikan sejati tidak diukur dari lamanya waktu tinggal, tetapi dari kenyamanan dan kesiapan anak menjalaninya.
Apa Kata Ilmu Psikologi dan Pendidikan Anak?
Psikolog perkembangan anak, seperti Jean Piaget dan Erik Erikson, menekankan pentingnya fase-fase perkembangan dalam membentuk karakter anak. Usia dini (5-7 tahun) adalah masa krusial dalam pembentukan rasa percaya (trust) dan kemandirian (autonomy). Jika anak dipisahkan secara paksa dari lingkungan aman tanpa dukungan emosional yang memadai, ia bisa mengalami krisis kepercayaan, merasa tidak dicintai, dan kehilangan rasa aman terhadap dunia.
Dr. Seto Mulyadi (Kak Seto), pakar psikologi anak Indonesia, juga pernah menyoroti fenomena ini. Menurutnya, pendidikan berbasis asrama harus menyesuaikan dengan kesiapan anak, bukan ambisi orang tua. Ia menegaskan pentingnya pendekatan yang penuh kasih, bukan pemaksaan.
Agama yang Memanusiakan, Bukan Mencederai
Agama sejatinya mengajarkan kasih sayang, kelembutan, dan pengertian. Dalam Islam, Nabi Muhammad SAW mempercepat salatnya ketika mendengar tangis anak, sebuah bentuk empati luar biasa terhadap kebutuhan emosional anak. Maka, ketika kita mendapati anak menjerit di pesantren dan merindukan ibunya, sudah sepatutnya kita tidak menutup telinga atas nama “kesalehan”.
Pesantren bukan tempat salah. Banyak pesantren hebat yang telah melahirkan generasi cerdas dan saleh. Namun, kita harus jujur melihat bahwa sistem pendidikan, termasuk pesantren, perlu lebih sensitif terhadap hak-hak psikologis anak. Jangan sampai kita mendidik secara fisik tapi melukai secara batin.
Rekomendasi untuk Orang Tua dan Pesantren
- Pertimbangkan usia dan kesiapan mental anak. Lakukan observasi dan konsultasi dengan psikolog anak sebelum memutuskan memondokkan anak.
- Libatkan anak dalam proses pengambilan keputusan. Ajak dialog, beri penjelasan yang sesuai usia, dan dengarkan pendapat anak.
- Bangun transisi yang lembut. Mulailah dari kegiatan menginap singkat, atau menitipkan anak di pesantren untuk waktu terbatas agar ia beradaptasi perlahan.
- Pesantren perlu punya sistem skrining psikologis. Tidak semua anak cocok dengan sistem asrama. Ada anak yang butuh lingkungan rumah hingga usia remaja.
- Bangun komunikasi intensif. Jangan memutus komunikasi anak dengan keluarga. Anak tetap butuh merasa dicintai dan didukung dari rumah.
Penutup: Jangan Sampai Agama Menjadi Luka Awal
Jangan sampai anakmu pandai membaca Al-Qur’an, tapi setiap kali mendengar ayat pertama, yang ia ingat justru hari ketika ia merasa dibuang. Jangan sampai pesantren, yang seharusnya menjadi taman surga, justru menjadi tempat pertama anak mengenal kesepian, kerinduan, dan keterasingan.
Kita semua bertanggung jawab menjaga fitrah anak. Menjadi religius tidak harus mengorbankan hak-hak dasar anak untuk dicintai, dipeluk, dan didampingi. Pendidikan sejati adalah yang memanusiakan manusia, bukan sekadar mencetak hafiz, tapi membesarkan anak-anak yang sehat secara jiwa dan bahagia secara batin.
Referensi Tambahan:
- Erikson, E. H. (1963). Childhood and Society. New York: Norton.
- Piaget, J. (1952). The Origins of Intelligence in Children. International Universities Press.
- Mulyadi, S. (2020). Psikologi Anak dan Remaja. Jakarta: Gramedia.
- UNICEF (2018). Child Development: What it is and why it matters.
- Hosen, Nadirsyah. (2020). Artikel-artikel pendidikan Islam dan psikologi anak, media sosial pribadi.