📢 Selamat datang di e-GalihOS! Temukan artikel menarik seputar teknologi dan tips blog kreatif setiap minggunya! 🌐📱 📢

Leukemia Limfoblastik


Leukemia Limfoblastik: Memahami Seluk-beluk Penyakit Keganasan Hematologi

Leukemia Limfoblastik (LL) merupakan kelompok keganasan hematologi yang ditandai oleh proliferasi tidak terkontrol dari sel-sel limfoid imatur di sumsum tulang. Penyakit ini secara kolektif dikenal sebagai leukemia akut, dan terbagi menjadi dua subtipe utama berdasarkan lini sel yang terlibat: Leukemia Limfoblastik Akut (LLA), yang berasal dari sel-sel limfoid, dan Leukemia Mieloid Akut (LMA), yang berasal dari sel-sel mieloid. Artikel ini akan secara spesifik membahas LLA, sebuah penyakit yang meskipun jarang, namun menjadi perhatian utama dalam onkologi pediatrik dan juga dapat menyerang orang dewasa.

Epidemiologi dan Etiologi

LLA adalah jenis leukemia yang paling umum pada anak-anak, dengan insidensi puncak antara usia 2 hingga 5 tahun. Meskipun demikian, LLA juga dapat terjadi pada orang dewasa, meskipun dengan prognosis yang umumnya lebih buruk dibandingkan pada populasi pediatrik. Angka kejadian LLA pada anak-anak di seluruh dunia berkisar antara 3-5 kasus per 100.000 anak per tahun. Di Indonesia sendiri, data epidemiologi yang komprehensif masih terbatas, namun diperkirakan pola kejadiannya tidak jauh berbeda dengan negara lain.

Etiologi LLA sebagian besar masih belum sepenuhnya dipahami, namun diperkirakan melibatkan interaksi kompleks antara faktor genetik dan lingkungan. Beberapa faktor risiko yang telah teridentifikasi meliputi:

  • Kelainan Genetik Bawaan: Individu dengan sindrom Down, sindrom Fanconi, atau ataxia-telangiectasia memiliki risiko LLA yang lebih tinggi. Kromosom Philadelphia, sebuah translokasi resiprokal antara kromosom 9 dan 22 (t(9;22)(q34;q11)) yang menghasilkan fusi gen BCR-ABL1, merupakan penanda genetik yang signifikan pada sekitar 25% kasus LLA pada orang dewasa dan 3-5% pada anak-anak. Kehadiran kromosom Philadelphia sering dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk.
  • Paparan Lingkungan: Paparan radiasi ionisasi, bahan kimia tertentu seperti benzena, dan beberapa agen kemoterapi sebelumnya (untuk kanker lain) telah dikaitkan dengan peningkatan risiko LLA, meskipun buktinya tidak sekuat pada LMA. Infeksi virus tertentu, seperti virus Epstein-Barr (EBV) dan virus T-cell leukemia/limfoma manusia tipe 1 (HTLV-1), juga telah diselidiki sebagai faktor pemicu, terutama pada subtipe LLA tertentu.
  • Faktor Imunologi: Gangguan pada sistem kekebalan tubuh juga diduga berperan dalam patogenesis LLA, meskipun mekanisme pastinya masih dalam penelitian.

Klasifikasi dan Patogenesis

Klasifikasi LLA secara tradisional didasarkan pada morfologi seluler menurut sistem French-American-British (FAB), yang membagi LLA menjadi tiga subtipe: L1 (sel limfoblas kecil, homogen), L2 (sel limfoblas besar, heterogen), dan L3 (sel limfoblas besar dengan vakuola sitoplasma, menyerupai limfoma Burkitt). Namun, klasifikasi modern lebih mengandalkan imunofenotipe (penanda permukaan sel) dan kelainan genetik/sitogenetik untuk memberikan informasi prognostik dan terapeutik yang lebih akurat.

Berdasarkan imunofenotipe, LLA dibagi menjadi:

  • LLA Sel B (B-ALL): Merupakan jenis yang paling umum, mencakup sekitar 80-85% dari semua kasus LLA. LLA sel B lebih lanjut diklasifikasikan berdasarkan tahap diferensiasi limfosit B yang terhenti, mulai dari pro-B, pre-B, hingga matur B-ALL.
  • LLA Sel T (T-ALL): Mencakup sekitar 15-20% dari kasus LLA dan berasal dari limfosit T imatur. T-ALL cenderung memiliki massa mediastinum dan sel leukemik yang lebih sering melibatkan sistem saraf pusat (SSP).

Patogenesis LLA melibatkan akumulasi mutasi genetik yang merusak regulasi proliferasi, diferensiasi, dan apoptosis sel-sel limfoid imatur. Sel-sel limfoblas ini, yang tidak berfungsi secara normal, terus-menerus membelah dan mengisi sumsum tulang, mengganggu produksi sel darah normal (eritrosit, leukosit, dan trombosit). Hal ini menyebabkan manifestasi klinis LLA, seperti anemia (kelelahan, pucat), trombositopenia (perdarahan, memar), dan neutropenia (infeksi berulang). Selain itu, sel-sel leukemik dapat menyebar ke organ lain seperti hati, limpa, kelenjar getah bening, sistem saraf pusat, dan testis, menyebabkan gejala spesifik terkait infiltrasi organ.

Manifestasi Klinis

Gejala LLA bervariasi tergantung pada usia pasien dan tingkat keparahan penyakit, namun umumnya mencakup:

  • Gejala Umum: Kelelahan, pucat, demam (seringkali akibat infeksi), penurunan berat badan, dan kehilangan nafsu makan.
  • Gejala Hematologi: Mudah memar atau berdarah (petekie, ekimosis, epistaksis), yang disebabkan oleh trombositopenia. Infeksi berulang atau parah akibat neutropenia.
  • Nyeri Tulang dan Sendi: Disebabkan oleh infiltrasi sel leukemik di sumsum tulang dan periosteum.
  • Limfadenopati dan Organomegali: Pembengkakan kelenjar getah benah (leher, ketiak, selangkangan), hati (hepatomegali), dan limpa (splenomegali) akibat infiltrasi sel kanker.
  • Gejala SSP: Pada kasus infiltrasi SSP, pasien dapat mengalami sakit kepala, mual, muntah, kejang, atau kelumpuhan saraf kranial.
  • Massa Mediastinum: Terutama pada T-ALL, dapat menyebabkan sesak napas dan sindrom vena kava superior.

Diagnosis

Diagnosis LLA didasarkan pada kombinasi pemeriksaan fisik, analisis darah lengkap, aspirasi dan biopsi sumsum tulang, serta studi sitogenetik dan molekuler.

  • Hitung Darah Lengkap (HDL): Sering menunjukkan pansitopenia (penurunan semua lini sel darah) atau setidaknya penurunan hemoglobin dan trombosit. Jumlah leukosit bisa bervariasi, dari sangat rendah hingga sangat tinggi, namun yang paling khas adalah adanya sel blast di sirkulasi perifer.
  • Aspirasi dan Biopsi Sumsum Tulang: Ini adalah pemeriksaan definitif untuk diagnosis LLA. Sampel sumsum tulang akan menunjukkan infiltrasi >20% sel limfoblas.
  • Imunofenotipe (Flow Cytometry): Digunakan untuk mengidentifikasi penanda permukaan sel pada limfoblas, yang memungkinkan klasifikasi LLA menjadi B-ALL atau T-ALL, serta subtipe lebih lanjut. Informasi ini krusial untuk panduan terapi.
  • Sitogenetik dan Molekuler: Pemeriksaan ini mengidentifikasi kelainan kromosom (misalnya, kromosom Philadelphia) dan mutasi gen spesifik yang memiliki implikasi prognostik dan terapeutik. Teknik yang digunakan meliputi fluorescence in situ hybridization (FISH), reverse transcriptase-polymerase chain reaction (RT-PCR), dan next-generation sequencing (NGS).

Penatalaksanaan

Prinsip dasar penatalaksanaan LLA adalah kemoterapi agresif, seringkali dalam beberapa fase:

  1. Fase Induksi: Bertujuan untuk mencapai remisi lengkap, yaitu eliminasi sel-sel leukemik dari sumsum tulang hingga kurang dari 5% blast. Regimen induksi pada anak-anak umumnya melibatkan kombinasi vincristine, prednison/dexamethasone, L-asparaginase, dan doxorubicin/daunorubicin. Pada orang dewasa, regimennya serupa namun seringkali lebih intensif.
  2. Fase Konsolidasi/Intensifikasi: Bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa penyakit minimal (minimal residual disease/MRD) yang tidak terdeteksi secara morfologis tetapi dapat menyebabkan kekambuhan. Fase ini menggunakan kombinasi obat yang berbeda dan dosis yang lebih tinggi.
  3. Fase Rumatan (Maintenance): Kemoterapi dosis rendah diberikan selama 2-3 tahun untuk mencegah kekambuhan. Obat yang umum digunakan adalah methotrexate oral dan 6-mercaptopurine oral, dengan pulsasi vincristine dan steroid.
  4. Profilaksis SSP: Karena LLA memiliki kecenderungan untuk menyebar ke SSP, profilaksis rutin dengan injeksi intratekal (melalui pungsi lumbal) methotrexate, cytarabine, dan/atau hidrokortison, serta pada kasus tertentu, radiasi kranial, diberikan untuk mencegah atau mengobati infiltrasi SSP.

Terapi Bertarget (Targeted Therapy): Untuk pasien dengan LLA positif kromosom Philadelphia, penambahan penghambat tirosin kinase (Tyrosine Kinase Inhibitors/TKIs) seperti imatinib, dasatinib, atau nilotinib, telah secara signifikan meningkatkan angka remisi dan kelangsungan hidup. TKIs menargetkan protein fusi BCR-ABL1 yang bertanggung jawab atas proliferasi sel kanker.

Transplantasi Sel Punca Hematopoietik (Hematopoietic Stem Cell Transplantation/HSCT): HSCT alogenik (dari donor yang cocok) dipertimbangkan untuk pasien dengan risiko tinggi kekambuhan, seperti pasien dewasa dengan LLA atau anak-anak dengan respons buruk terhadap kemoterapi awal atau kelainan genetik yang berisiko tinggi. HSCT menawarkan potensi penyembuhan, namun juga membawa risiko komplikasi yang signifikan.

Imunoterapi: Bidang imunoterapi telah menunjukkan kemajuan yang menjanjikan dalam penanganan LLA refrakter atau kambuh. Beberapa terapi yang sedang dikembangkan atau telah disetujui meliputi:

  • Antibodi Monoklonal Bispesifik (Bi-specific T-cell Engagers/BiTEs): Contohnya blinatumomab, yang secara simultan mengikat sel leukemik dan sel T pasien, memfasilitasi penghancuran sel kanker oleh sistem imun.
  • Terapi Sel T Rekayasa Reseptor Antigen Kimera (Chimeric Antigen Receptor T-cell/CAR T-cell Therapy): Terapi revolusioner ini melibatkan pengambilan sel T dari pasien, merekayasa secara genetik untuk mengekspresikan reseptor antigen kimera yang menargetkan protein spesifik pada sel kanker (misalnya, CD19 pada B-ALL), dan kemudian menginfuskan kembali sel T yang dimodifikasi ini ke pasien. Terapi CAR T-cell, seperti tisagenlecleucel, telah disetujui untuk LLA refrakter/kambuh pada anak-anak dan dewasa muda.

Prognosis dan Komplikasi

Prognosis LLA sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh sejumlah faktor, termasuk usia saat diagnosis (prognosis terbaik pada anak-anak usia 1-9 tahun), hitung leukosit awal, ada tidaknya kelainan sitogenetik dan molekuler berisiko tinggi (misalnya, kromosom Philadelphia), dan kecepatan respons terhadap terapi awal (MRD).

Meskipun tingkat kelangsungan hidup keseluruhan untuk anak-anak dengan LLA telah meningkat secara dramatis, mencapai lebih dari 90% di pusat-pusat terkemuka, prognosis pada orang dewasa tetap menjadi tantangan, dengan tingkat kelangsungan hidup keseluruhan sekitar 40-50%.

Komplikasi LLA dan terapinya meliputi:

  • Infeksi: Akibat imunosupresi berat yang disebabkan oleh penyakit itu sendiri dan kemoterapi.
  • Perdarahan: Akibat trombositopenia.
  • Anemia: Akibat kegagalan sumsum tulang.
  • Efek Samping Kemoterapi: Mual, muntah, rambut rontok, mukositis, neuropati perifer, toksisitas jantung, ginjal, dan hati.
  • Sindrom Lisis Tumor: Kondisi gawat darurat yang dapat terjadi selama induksi kemoterapi, ditandai dengan gangguan elektrolit parah akibat lisis sel kanker yang cepat.
  • Relaps: Kekambuhan penyakit, yang seringkali lebih sulit diobati.
  • Efek Jangka Panjang: Masalah kognitif, masalah endokrin, infertilitas, dan peningkatan risiko kanker sekunder di kemudian hari.

Kesimpulan dan Arah Masa Depan

LLA adalah penyakit kompleks yang memerlukan pendekatan multidisiplin dalam diagnosis dan penanganannya. Kemajuan signifikan dalam pemahaman biologi molekuler LLA, serta pengembangan strategi terapi baru seperti terapi bertarget dan imunoterapi, telah merevolusi penatalaksanaan penyakit ini dan secara drastis meningkatkan tingkat kelangsungan hidup, terutama pada anak-anak.

Meskipun demikian, tantangan tetap ada, terutama dalam meningkatkan hasil pada pasien dewasa, mengatasi kasus-kasus refrakter atau kambuh, dan mengurangi toksisitas jangka panjang dari terapi. Penelitian di masa depan akan terus berfokus pada identifikasi penanda genetik dan molekuler baru untuk stratifikasi risiko yang lebih akurat, pengembangan agen terapi yang lebih spesifik dan kurang toksik, serta optimalisasi strategi imunoterapi untuk mencapai kesembuhan pada lebih banyak pasien dengan LLA.

Daftar Pustaka

  1. Pui, C.-H., & Evans, W. E. (2018). Treatment of Acute Lymphoblastic Leukemia. New England Journal of Medicine, 379(10), 918–931.
  2. Inaba, H., & Mullighan, C. G. (2020). Pediatric Acute Lymphoblastic Leukemia. Hematology/Oncology Clinics of North America, 34(2), 263–281.
  3. Hoelzer, D., Gökbuget, N., & Parovich, R. L. (2020). Acute Lymphoblastic Leukemia in Adults. Hematology/Oncology Clinics of North America, 34(3), 541–562.
  4. Arber, D. A., Orazi, A., Hasserjian, R., Thiele, J., Borowitz, M. J., Le Beau, M. M., ... & Campo, E. (2016). The 2016 revision to the World Health Organization classification of myeloid neoplasms and acute leukemia. Blood, 127(23), 2831–2846.
  5. Hunger, S. P., & Mullighan, C. G. (2015). Acute Lymphoblastic Leukemia in Children. New England Journal of Medicine, 373(16), 1541–1552.

GALIHOS

Saya seorang blogger dan vlogger. Hidup saya adalah kumpulan cerita, yang terekam dalam piksel dan kata-kata. Saya berkembang di bawah tekanan dengan menjunjung tinggi profesionalitas, merangkul seni, cita rasa, dan jalan yang tak berujung. Alam adalah tempat istirahat saya. Namun, hanya sedikit yang tahu obsesi saya dengan disiplin ilmu spionase, peretasan dan kejahatan digital. Saya mempelajari infiltrasi, enkripsi dan cara melacak jejak digital. Hanya sekadar pembelajaran atau begitulah yang saya kira. Setiap petualangan, setiap rahasia, saya dokumentasikan. Media sosial saya menyimpan masa lalu saya, kebenaran yang mutlak. Satu hal yang pasti, saya akan menjaga konfidensial saya, karena selalu ada penipu yang menyamar sebagai pendengar dan selalu ada pendengar yang mengintai dalam kegelapan.

Lebih baru Lebih lama