Seksomnia: Gangguan Tidur yang Jarang Diketahui Tapi Nyata
Bayangkan seseorang terbangun di tengah malam, bukan karena suara bising atau mimpi buruk, tetapi karena pasangan mereka bertingkah seolah sedang melakukan hubungan seksual namun mereka tetap tertidur. Terlihat aktif secara fisik, tetapi secara mental mereka tidak sadar. Inilah yang dikenal sebagai seksomnia, salah satu bentuk parasomnia yang jarang dibahas secara terbuka, tapi nyata adanya.
Apa Itu Seksomnia?
Seksomnia adalah gangguan tidur langka di mana seseorang melakukan aktivitas seksual seperti masturbasi, sentuhan seksual, hingga hubungan seksual saat mereka sedang tidur, dan biasanya tidak mengingat apa pun tentang kejadian tersebut keesokan harinya. Gangguan ini termasuk dalam kategori parasomnia non-REM, bersama dengan sleepwalking (berjalan dalam tidur) dan sleep talking (berbicara dalam tidur).
Menurut International Classification of Sleep Disorders (ICSD-3), seksomnia didefinisikan sebagai "perilaku seksual abnormal yang terjadi selama tidur, dengan kesadaran terbatas atau tidak ada sama sekali, dan biasanya tidak dikenang oleh individu."
Gejala Umum Seksomnia
- Masturbasi saat tidur
- Membelai atau meraba tubuh pasangan secara seksual
- Melakukan hubungan seksual tanpa sadar
- Orgasme saat tidur
- Mengerang atau suara bernada seksual
- Tidak memiliki ingatan tentang perilaku tersebut setelah bangun
Apa Penyebab Seksomnia?
Tidak seperti gangguan tidur yang lebih umum seperti insomnia atau sleep apnea, seksomnia tidak disebabkan oleh satu faktor tunggal. Ini adalah kondisi multifaktorial yang bisa muncul akibat kombinasi dari berbagai pemicu berikut:
1. Stres dan Kelelahan
Stres berkepanjangan dan kelelahan fisik maupun emosional dapat memicu gangguan tidur, termasuk seksomnia. Banyak kasus mencatat bahwa perilaku seksual ini muncul saat penderita berada dalam kondisi stres berat.
2. Kurang Tidur atau Pola Tidur Tidak Teratur
Gangguan ritme sirkadian atau kurang tidur bisa membuat otak ‘kacau’ saat memasuki fase tidur dalam. Hal ini bisa meningkatkan kemungkinan munculnya perilaku parasomnia, termasuk seksomnia.
3. Kondisi Neurologis
Beberapa kasus menunjukkan hubungan antara seksomnia dengan epilepsi nokturnal atau cedera otak. Aktivitas listrik abnormal di otak saat tidur bisa memicu respons fisik tanpa kesadaran.
4. Penggunaan Obat dan Alkohol
Obat-obatan seperti antidepresan, benzodiazepin, atau alkohol bisa memengaruhi keseimbangan neurotransmitter di otak dan menyebabkan perilaku abnormal selama tidur.
5. Riwayat Gangguan Tidur Lain
Seseorang dengan riwayat tidur berjalan, mimpi buruk intens, atau gangguan tidur lainnya lebih rentan mengalami seksomnia.
Bagaimana Seksomnia Dideteksi?
Salah satu tantangan terbesar dalam diagnosis seksomnia adalah bahwa penderita tidak menyadari perilaku mereka. Biasanya, laporan datang dari pasangan tidur, keluarga, atau bahkan dalam kasus ekstrim otoritas hukum.
Diagnosis Klinis
Diagnosis seksomnia melibatkan kombinasi dari:
- Wawancara klinis dengan pasien dan pasangan
- Pencatatan aktivitas tidur (sleep diary)
- Polisomnografi: Pemeriksaan laboratorium tidur yang merekam aktivitas otak, gerakan tubuh, detak jantung, dan pernapasan saat tidur
- Rekaman video saat tidur: Untuk menangkap perilaku seksual yang muncul selama tidur
Dalam beberapa kasus, diagnosis seksomnia juga memerlukan evaluasi oleh psikiater dan neurolog untuk menyingkirkan kemungkinan gangguan mental atau epilepsi.
Konsekuensi Sosial dan Hukum
Dampak seksomnia tidak berhenti di ranjang. Gangguan ini bisa memiliki implikasi serius dalam hubungan personal, pernikahan, hingga persoalan hukum.
1. Kerusakan Hubungan
Pasangan yang tidak memahami kondisi ini bisa merasa bingung, takut, atau bahkan tersinggung. Kurangnya komunikasi dan rasa percaya bisa menyebabkan konflik dan keretakan hubungan.
2. Isu Konsensual
Masalah besar muncul jika perilaku seksual terjadi tanpa persetujuan pasangan walaupun pelaku tidak sadar. Dalam beberapa kasus, seksomnia bahkan dijadikan pembelaan di pengadilan dalam kasus pelecehan seksual atau pemerkosaan, walau tetap menjadi perdebatan etik dan hukum.
3. Stigma Sosial
Karena topiknya sensitif dan seringkali dianggap tabu, penderita seksomnia mungkin enggan mencari bantuan medis. Hal ini memperburuk kondisi karena mereka tetap hidup dengan gangguan yang bisa dikontrol atau diobati.
Bagaimana Mengobati Seksomnia?
Tidak ada satu pendekatan tunggal yang efektif untuk semua penderita seksomnia. Perawatan harus disesuaikan dengan penyebab yang mendasari dan tingkat keparahan gejala.
1. Perubahan Gaya Hidup
- Menjaga kualitas tidur yang baik (sleep hygiene)
- Menghindari alkohol dan kafein sebelum tidur
- Mengatur rutinitas tidur yang konsisten
- Mengelola stres dengan teknik relaksasi, meditasi, atau terapi
2. Terapi Farmakologis
- Clonazepam (benzodiazepin) sering digunakan untuk kasus parasomnia termasuk seksomnia.
- Antidepresan SSRI dapat digunakan jika seksomnia berkaitan dengan kondisi psikiatri.
3. Psikoterapi
Jika seksomnia terkait trauma masa lalu atau gangguan mental, terapi kognitif perilaku (CBT) bisa sangat membantu. Terapi pasangan juga bisa dilakukan untuk memperkuat komunikasi dan dukungan.
4. Pengamanan Lingkungan Tidur
Dalam kasus ekstrem, penderita disarankan tidur terpisah atau mengamankan area tidur agar tidak melukai diri sendiri atau orang lain saat episode terjadi.
Seksomnia dalam Perspektif Ilmiah
Beberapa studi dan jurnal ilmiah telah meneliti seksomnia meskipun jumlahnya masih terbatas karena sifat kondisi yang langka.
Studi Terkait:
- Shapiro et al. (2003) dalam jurnal Canadian Journal of Psychiatry mempublikasikan salah satu studi awal tentang kasus seksomnia, menjelaskan perilaku seksual kompleks selama tidur pada pria dewasa.
- Jaffer et al. (2011) dalam jurnal Sleep and Biological Rhythms menyoroti pentingnya diferensiasi seksomnia dari perilaku seksual sukarela dalam tidur, untuk konteks hukum.
- Anderson et al. (2007) dalam Journal of Clinical Sleep Medicine menekankan perlunya pemantauan video-polysomnografi untuk diagnosis yang akurat.
- Ohayon et al. (2009) menyatakan bahwa prevalensi seksomnia di populasi umum sekitar 7.6%, meski angka sebenarnya bisa lebih tinggi karena underreporting.
Kesimpulan
Seksomnia mungkin terdengar seperti materi film fiksi atau urban legend, tapi gangguan ini nyata dan dapat berdampak besar pada kehidupan pribadi, emosional, bahkan legal seseorang. Kesadaran dan edukasi publik tentang seksomnia sangat penting untuk membantu penderita mencari bantuan medis dan menghindari dampak negatif yang lebih luas.
Jika Anda atau orang terdekat Anda menunjukkan gejala mirip seksomnia, langkah pertama yang penting adalah berkonsultasi dengan spesialis tidur atau psikiater. Dengan pendekatan yang tepat, seksomnia dapat dikendalikan dan kualitas hidup penderita dapat ditingkatkan.
Daftar Pustaka
- Shapiro, C. M., Sloan, P., & Shapiro, C. (2003). Sexsomnia a new parasomnia? Canadian Journal of Psychiatry, 48(5), 311-317. https://doi.org/10.1177/070674370304800509
- Jaffer, K. Y., Chang, T., & Bhat, A. (2011). Sexsomnia and the law. Sleep and Biological Rhythms, 9(3), 192-197.
- Anderson, K. N., Shneerson, J. M. (2007). Sexsomnia: a case of sleep sex. Journal of Clinical Sleep Medicine, 3(4), 430-432.
- Ohayon, M. M., Guilleminault, C., & Priest, R. G. (2009). Night terrors, sleepwalking, and confusional arousals in the general population: Their frequency and relationship to other sleep and mental disorders. Journal of Clinical Psychiatry, 60(4), 268-276.