📢 Selamat datang di e-GalihOS! Temukan artikel menarik seputar teknologi dan tips blog kreatif setiap minggunya! 🌐📱 📢

Telanjang di Dunia Digital

Era Baru Intimasi yang Tak Lagi Pribadi

Di era digital saat ini, batas antara ruang publik dan privat semakin kabur. Fenomena ini menciptakan bentuk baru dari keintiman yang dikenal sebagai digital intimacy sebuah konsep yang mencerminkan kedekatan emosional dan fisik yang dibangun melalui platform digital. Namun, di balik kemudahan dan kenyamanan yang ditawarkan, terdapat ancaman serius terhadap privasi dan keamanan individu.



1. Digital Intimacy: Antara Kebutuhan dan Ancaman

Digital intimacy merujuk pada hubungan emosional yang terjalin melalui media digital, seperti pesan teks, panggilan video, dan berbagi konten pribadi. Meskipun memberikan kemudahan dalam membangun dan mempertahankan hubungan, terutama di masa pandemi, bentuk keintiman ini membawa risiko yang signifikan.

Menurut penelitian oleh Genuis dan Genuis (2005), interaksi anonim secara online dapat mempercepat keintiman, namun juga meningkatkan risiko pengungkapan diri yang berlebihan, disinhibisi seksual, dan ekspektasi yang tidak realistis terhadap pasangan online. Hal ini diperparah dengan meningkatnya kasus pelecehan dan eksploitasi dalam interaksi anonim tersebut. 

2.Oversharing: Ketelanjangan Digital yang Mengundang Bahaya

Fenomena oversharing, atau berbagi informasi pribadi secara berlebihan di media sosial, menjadi masalah serius dalam konteks digital intimacy. Studi oleh Shabahang et al. (2024) menunjukkan bahwa remaja yang sering berbagi informasi pribadi secara online cenderung mengalami tingkat kecemasan yang lebih tinggi dan perilaku mencari perhatian. 

Di Indonesia, penelitian terhadap mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) mengungkapkan bahwa hanya 38,7% responden yang aktif menggunakan fitur privasi di media sosial mereka. Hal ini menunjukkan rendahnya kesadaran akan risiko privasi, sehingga mereka cenderung membagikan informasi pribadi seperti lokasi dan aktivitas harian tanpa mempertimbangkan konsekuensinya. 

3. Sexting dan Manajemen Privasi: Antara Kepercayaan dan Risiko

Sexting, atau berbagi pesan dan gambar seksual melalui media digital, menjadi bagian dari digital intimacy yang membawa risiko tinggi. Penelitian oleh Chandra Kirana dan Hendriyani (2020) menggunakan Teori Manajemen Privasi Komunikasi (CPM) untuk memahami bagaimana individu mengelola privasi mereka dalam konteks sexting. Hasilnya menunjukkan bahwa meskipun sexting dapat memperkuat hubungan dan kepercayaan, terdapat kesadaran akan risiko kebocoran informasi yang dapat merusak reputasi. 

Selain itu, studi oleh Kahlow (2020) menekankan pentingnya fitur platform dalam memoderasi hubungan antara pengungkapan diri, kepercayaan pasangan, privasi, dan risiko. Fitur-fitur tersebut dapat mempengaruhi keputusan individu untuk terlibat dalam sexting, karena dapat memberikan lebih banyak privasi, kepercayaan, dan mengurangi risiko. 

4. Ancaman Privasi dalam Hubungan Intim

Ancaman terhadap privasi tidak hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam hubungan intim itu sendiri. Levy dan Schneier (2020) mengidentifikasi "ancaman intim" sebagai bentuk ancaman privasi yang muncul dalam hubungan dekat, seperti keluarga atau pasangan romantis. Orang-orang terdekat sering kali memiliki akses ke perangkat dan informasi pribadi, yang dapat digunakan untuk mengontrol atau menyalahgunakan individu. 

Dalam konteks ini, perlindungan privasi menjadi lebih kompleks, karena pelaku memiliki pengetahuan mendalam tentang korban, termasuk jawaban atas pertanyaan keamanan dan akses ke perangkat pribadi. Hal ini menuntut pendekatan baru dalam desain teknis dan kebijakan untuk mengurangi risiko privasi dalam hubungan intim.

5. Penyalahgunaan Citra dan Kekerasan Berbasis Gambar

Penyebaran konten intim tanpa persetujuan, atau image-based sexual abuse (IBSA), menjadi ancaman serius dalam digital intimacy. Studi oleh Qin et al. (2024) menemukan bahwa sebanyak 1 dari 3 orang pernah menjadi korban IBSA, yang mencakup distribusi non-konsensual atau ancaman distribusi konten intim yang dibuat secara sukarela. 

Korban IBSA sering kali menghadapi stigma sosial dan kurangnya perlindungan hukum yang memadai. Hal ini menekankan perlunya pengembangan teknologi yang proaktif untuk melindungi individu dari penyalahgunaan citra, serta peningkatan kesadaran dan edukasi tentang risiko berbagi konten intim secara digital.

6. Teori Penetrasi Sosial dan Pengelolaan Batas Privasi

Teori Penetrasi Sosial (SPT) menjelaskan bahwa hubungan interpersonal berkembang melalui peningkatan kedalaman dan luasnya pengungkapan diri. Namun, dalam konteks digital, proses ini dapat terjadi secara cepat dan tanpa kontrol yang memadai, meningkatkan risiko kerentanan.

Sementara itu, Teori Manajemen Privasi Komunikasi (CPM) menekankan pentingnya pengelolaan batas privasi dalam berbagi informasi pribadi. Ketika batas-batas ini dilanggar, dapat terjadi "gangguan batas" yang menyebabkan stres dan konflik dalam hubungan.

7. Kesadaran dan Edukasi sebagai Kunci Perlindungan

Meningkatkan kesadaran dan edukasi tentang risiko digital intimacy menjadi langkah penting dalam melindungi privasi individu. Studi oleh Naghizade et al. (2024) menunjukkan bahwa emosi yang dirasakan individu mempengaruhi perilaku berbagi informasi pribadi, terutama dalam konteks lokasi dan hubungan sosial. Pemahaman tentang bagaimana emosi mempengaruhi keputusan berbagi informasi dapat membantu dalam mengembangkan strategi untuk mengurangi risiko oversharing

Selain itu, penting bagi individu untuk memahami fitur-fitur privasi yang tersedia di platform digital dan menggunakannya secara aktif untuk melindungi informasi pribadi mereka. Edukasi tentang risiko dan cara mengelola privasi secara efektif dapat membantu individu membuat keputusan yang lebih bijak dalam berbagi informasi secara digital.

8.Ancaman Pidana dalam Kasus Intimasi Digital

Fenomena digital intimacy tidak hanya menjadi masalah etis dan sosial, tetapi juga memiliki implikasi hukum yang sangat serius. Pelanggaran terhadap privasi dan penyalahgunaan konten intim pribadi baik berupa gambar, video, maupun pesan dapat dikenakan sanksi pidana di berbagai yurisdiksi, termasuk Indonesia.

Berikut ancaman hukuman terkait digital intimacy di Indonesia beserta undang-undangnya: 

1. UU ITE (Undang-Undang No. 19 Tahun 2016)

  • Penyebaran konten intim tanpa izin
  • Ancaman: Penjara hingga 6 tahun, denda hingga Rp1 miliar

2. UU TPKS (Undang-Undang No. 12 Tahun 2022)

  • Kekerasan seksual berbasis digital (sextortion, ancaman, pemaksaan)
  • Ancaman: Penjara hingga 12 tahun

3. KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)

  • Pencemaran nama baik & perbuatan cabul digital
  • Ancaman: Penjara hingga 4 tahun dan/atau 2 tahun 8 bulan
Tindakan ini tidak secara langsung dikategorikan sebagai perselingkuhan atau perzinahan, karena perselingkuhan dan zina diatur secara khusus dalam KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023), yang mengkriminalisasi hubungan seksual di luar pernikahan hanya jika ada aduan dari pasangan sah, orang tua, atau anak.

Kaitan dengan Digital Intimacy

Jika perselingkuhan disertai bukti digital seperti foto atau video intim:

  • Dapat diperluas menjadi perkara UU ITE atau UU TPKS, jika ada penyebaran atau paksaan.
  • Namun, tidak otomatis masuk kategori zina, kecuali ada pengakuan atau bukti kuat tentang hubungan seksual fisik.

Kesimpulan

Perselingkuhan atau perzinahan dalam KUHP baru bisa dipidana, tetapi hanya jika ada aduan dari pihak yang dirugikan (istri/suami/keluarga dekat). Jika tindakan itu terjadi secara digital (tanpa kontak fisik), maka perkaranya lebih kuat masuk ranah UU ITE dan UU TPKS, bukan Pasal 411 KUHP.


Kesimpulan: Menjaga Keintiman di Era Digital

Digital intimacy menawarkan kemudahan dalam membangun dan mempertahankan hubungan, namun juga membawa risiko serius terhadap privasi dan keamanan individu. Fenomena oversharing, sexting, dan penyalahgunaan citra intim menunjukkan bahwa batas antara ruang publik dan privat semakin kabur di era digital.

Untuk melindungi diri, individu perlu meningkatkan kesadaran tentang risiko yang terkait dengan digital intimacy, memahami dan menggunakan fitur privasi yang tersedia, serta mengelola batas privasi mereka dengan bijak. Selain itu, pengembangan teknologi yang proaktif dan kebijakan yang mendukung perlindungan privasi menjadi penting dalam menciptakan lingkungan digital yang aman dan sehat.

Daftar Pustaka

  1. Genuis, S. K., & Genuis, S. J. (2005). Online intimacy and well-being in the digital age. Europe PMC. 
  2. Shabahang, R., et al. (2024). When we can share everything online, what counts as oversharing? The Guardian. 
  3. Kirana, C., & Hendriyani. (2020). Privacy Management of Sexting in Young Adult's Dating Relationships. Universitas Indonesia. 
  4. Kahlow, J. A. (2020). The Influence of Technology on Privacy Boundary Management in Young Adults' Sexting Relationships: A Communication Privacy Management Perspective. IGI Global. 
  5. Levy, K., & Schneier, B. (2020). Privacy threats in intimate relationships. arXiv preprint arXiv:2006.03907.

GALIHOS

Saya seorang blogger dan vlogger. Hidup saya adalah kumpulan cerita, yang terekam dalam piksel dan kata-kata. Saya berkembang di bawah tekanan dengan menjunjung tinggi profesionalitas, merangkul seni, cita rasa, dan jalan yang tak berujung. Alam adalah tempat istirahat saya. Namun, hanya sedikit yang tahu obsesi saya dengan disiplin ilmu spionase, peretasan dan kejahatan digital. Saya mempelajari infiltrasi, enkripsi dan cara melacak jejak digital. Hanya sekadar pembelajaran atau begitulah yang saya kira. Setiap petualangan, setiap rahasia, saya dokumentasikan. Media sosial saya menyimpan masa lalu saya, kebenaran yang mutlak. Satu hal yang pasti, saya akan menjaga konfidensial saya, karena selalu ada penipu yang menyamar sebagai pendengar dan selalu ada pendengar yang mengintai dalam kegelapan.

Lebih baru Lebih lama