Teori Disorganisasi Sosial dan Relevansinya terhadap Realitas Sosial di Indonesia
Sumber https://www.instagram.com/p/DJqSPs3p8H-/?utm_source=ig_web_copy_link |
Gambar ilustrasi yang menggambarkan kondisi Indonesia dengan fenomena seperti premanisme, tawuran pelajar, dan ijazah palsu mencerminkan banyak elemen dari teori disorganisasi sosial. Dalam artikel ini, kita akan membahas secara mendalam tentang teori tersebut, bagaimana ia muncul, komponennya, dan bagaimana relevansinya terhadap kondisi sosial di Indonesia.
Konsep Dasar Teori Disorganisasi Sosial
Teori disorganisasi sosial pertama kali dikembangkan oleh Clifford Shaw dan Henry McKay pada tahun 1942. Mereka melakukan penelitian terhadap kota Chicago dan menemukan bahwa wilayah-wilayah dengan tingkat mobilitas tinggi, heterogenitas etnis, dan kemiskinan cenderung memiliki tingkat kejahatan yang lebih tinggi. Menurut mereka, disorganisasi sosial terjadi ketika komunitas kehilangan kemampuan untuk mempertahankan nilai-nilai sosial bersama dan mengontrol perilaku warganya.
Tiga faktor utama yang diidentifikasi dalam teori ini adalah:
- Kemiskinan: Masyarakat dengan ekonomi lemah cenderung kesulitan dalam menciptakan lingkungan yang stabil.
- Mobilitas penduduk yang tinggi: Pergantian penduduk secara cepat menyebabkan kurangnya keterikatan dan rasa kepemilikan terhadap lingkungan.
- Heterogenitas etnis: Perbedaan budaya yang tinggi dapat menyebabkan kesulitan dalam mencapai konsensus sosial.
Ketiga faktor ini menyebabkan lemahnya pengawasan sosial informal, seperti kontrol oleh keluarga, tetangga, dan komunitas, sehingga perilaku menyimpang meningkat.
Aplikasi Teori dalam Konteks Indonesia
Jika kita melihat kondisi sosial di Indonesia melalui lensa teori disorganisasi sosial, kita akan menemukan banyak kesesuaian. Gambar ilustrasi yang memperlihatkan preman ormas, tawuran pelajar, hingga peredaran ijazah palsu adalah gejala dari lemahnya institusi sosial dan kontrol sosial informal dalam masyarakat.
Premanisme dan Ormas Anarkis : Fenomena premanisme sering kali terjadi di wilayah-wilayah dengan tingkat pendidikan rendah dan pengangguran tinggi. Ketika lembaga-lembaga hukum dan keamanan tidak mampu hadir secara optimal, masyarakat cenderung mencari perlindungan pada kelompok-kelompok informal seperti ormas, yang tidak jarang justru menjadi pelaku kekerasan. Ini mencerminkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi formal.
Tawuran Pelajar : Tawuran pelajar adalah salah satu contoh paling jelas dari disorganisasi sosial di tingkat remaja. Lembaga pendidikan yang gagal membina nilai disiplin dan etika, serta lingkungan keluarga yang tidak mendukung perkembangan moral anak, menyebabkan pelajar lebih mudah terlibat dalam kekerasan kelompok. Kontrol sosial informal dalam bentuk nasihat dari orang tua atau pengawasan lingkungan sekitar mulai hilang.
Peredaran Ijazah Palsu Fenomena ijazah palsu merupakan refleksi dari runtuhnya etika dan integritas dalam pendidikan dan dunia kerja. Ketika masyarakat lebih mementingkan simbol-simbol kesuksesan (seperti gelar akademik) dibandingkan proses yang sah, maka nilai-nilai sosial tergantikan oleh pragmatisme. Ini juga memperlihatkan lemahnya institusi pengawas dan kontrol terhadap sistem pendidikan.
Perbandingan dengan Negara Lain
Gambar tersebut juga membandingkan Indonesia dengan negara lain yang digambarkan maju secara teknologi dan ilmu pengetahuan. Perbedaan utama antara Indonesia dan negara-negara maju tersebut adalah kekuatan institusi sosial dan sistem nilai yang dipegang masyarakat. Di negara-negara dengan tingkat disorganisasi sosial rendah, kita melihat:
- Pendidikan menjadi prioritas utama dan didukung dengan sistem yang transparan.
- Hukum ditegakkan dengan konsisten tanpa pandang bulu.
- Keluarga dan komunitas lokal aktif dalam pengawasan sosial.
Perbedaan ini mengarah pada pembentukan masyarakat yang lebih stabil, inovatif, dan berdaya saing tinggi.
Solusi dan Rekomendasi
Untuk mengatasi disorganisasi sosial, beberapa langkah berikut dapat dipertimbangkan:
- Penguatan Institusi Sosial Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat harus kembali difungsikan sebagai tempat pembinaan moral dan nilai. Pemerintah harus mendukung dengan program pendidikan keluarga dan penguatan ekonomi rumah tangga.
- Reformasi Pendidikan Sekolah harus menjadi agen utama dalam pembentukan karakter. Kurikulum harus menekankan pendidikan moral, kewarganegaraan, dan toleransi. Selain itu, pengawasan terhadap praktik korupsi pendidikan seperti jual beli ijazah harus diperketat.
- Penegakan Hukum yang Tegas Institusi penegak hukum harus bertindak tanpa kompromi terhadap pelanggaran hukum. Premanisme, kekerasan ormas, dan penyalahgunaan kekuasaan harus diberantas secara sistematis.
- Pemberdayaan Komunitas Komunitas lokal harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan pengawasan sosial. Program-program berbasis komunitas seperti forum warga, karang taruna, dan pengawasan lingkungan dapat menghidupkan kembali kontrol sosial informal.
- Pemanfaatan Teknologi untuk Transparansi Digitalisasi sistem administrasi publik dapat mengurangi ruang bagi manipulasi dan korupsi. Pemerintah juga dapat memanfaatkan teknologi untuk edukasi publik secara luas mengenai nilai-nilai integritas dan tanggung jawab sosial.
Kesimpulan
Daftar Pustaka
- Shaw, C. R., & McKay, H. D. (1942). Juvenile Delinquency and Urban Areas. Chicago: University of Chicago Press.
- Kornhauser, R. R. (1978). Social Sources of Delinquency: An Appraisal of Analytic Models. Chicago: University of Chicago Press.
- Sampson, R. J., & Groves, W. B. (1989). Community Structure and Crime: Testing Social-Disorganization Theory. American Journal of Sociology, 94(4), 774–802.
- Vito, G. F., & Maahs, J. R. (2012). Criminology: Theory, Research, and Policy. Jones & Bartlett Learning.
- Sudaryono. (2011). Keamanan Nasional: Kajian Konseptual dan Strategis. Jakarta: RajaGrafindo Persada.