Di sebuah perusahaan yang sedang tumbuh pelan namun pasti, hidup seorang pemimpin bernama Alessia. Banyak orang mengenal Alessia sebagai sosok yang sangat memperhatikan detail visual. Ia memiliki kemampuan menata ruang yang menyaingi para desainer interior profesional. Jika ada yang berubah di kantornya, bahkan hanya posisi vas bunga lima sentimeter lebih ke kanan, bisa dipastikan itu adalah sentuhan Alessia.
Ia percaya bahwa ruang yang nyaman bisa memberi ketenangan. Ia yakin bahwa kantor yang indah akan membawa energi positif bagi seluruh karyawan. Dan pada titik tertentu, keyakinan itu tidak salah. Tetapi seperti banyak hal dalam hidup, ketika fokus menjadi berlebihan, sesuatu yang mulanya baik bisa berubah menjadi penyeimbang yang hilang arah.
Sebuah Ruang Kerja yang Terus Disempurnakan
Di pagi hari, ketika sebagian besar tim membuka laptop untuk memulai pekerjaan yang menumpuk, Alessia sudah lebih dulu datang, memeriksa sudut-sudut ruangannya. Ia memperhatikan tekstur gorden baru yang dipasang seminggu sebelumnya, memeriksa apakah cahaya masuk dengan sudut yang tepat, mengatur ulang kursi tunggu dengan pertimbangan estetika.
Seolah-olah ruang kerja adalah makhluk hidup yang harus ditata ulang setiap hari agar tetap bernapas.
Bagi sebagian orang, perhatian terhadap detail seperti itu terasa inspiratif. Tetapi lambat laun, tim mulai merasakan sesuatu yang lain: ruang kerja memang semakin indah, namun arah kepemimpinan terasa semakin kabur.
Alessia seperti terjebak dalam permainan kursi dan gorden yang tidak ada ujungnya.
Pemimpin yang Tidak Tahu Apa yang Ia Pimpin
Saat pertanyaan itu melayang, hening sejenak terjadi. Karyawan menunggu mungkin ia akan menunjuk sesuatu yang spesifik, sesuatu yang ia pantau. Namun ketika salah satu staf mencoba menjelaskan laporan yang belum final, Alessia tiba-tiba terlihat ragu, bahkan seperti tidak mengikuti pembahasan sebelumnya.
Ketika ditanya kembali tentang target atau progres yang tertunda, Alessia seperti kehilangan pijakan. Ia berusaha menjawab, namun tersendat karena terlalu banyak waktu dan fokusnya dihabiskan untuk hal lain: interior kantor yang terus ia tata ulang.
Rasanya seperti melihat seorang nakhoda yang sibuk mengelap kemudi kapal, sementara arah perjalanan justru tidak diperhatikan.
Keheningan yang Mengajarkan Banyak Hal
Para karyawan tetap bekerja dengan sepenuh hati. Mereka bukan hanya mengerjakan pekerjaan rutin, tetapi juga menjaga ritme perusahaan agar tetap berjalan stabil. Ada di antara mereka yang menahan lelah, ada yang menahan kegelisahan, namun tetap memilih profesional.
Mereka tidak pernah mengharapkan pujian besar. Tidak menginginkan pesta penghargaan atau papan nama yang mewah. Yang mereka harapkan jauh lebih sederhana: pemimpin yang mengetahui apa yang ia pimpin dan mengenali prioritas yang benar.
Namun kenyataannya, diskusi tentang perbaikan ruang kerja selalu menjadi topik yang lebih dominan dibandingkan kebutuhan tim, atau kesejahteraan mereka. Ruangan boleh berubah menjadi lebih cantik, tetapi ruang komunikasi antara pemimpin dan karyawan terasa semakin hening.
Perbandingan yang Tak Terucap
Sebagian karyawan pernah mendengar kisah pemimpin lain di dunia bisnis, seperti Dan Price dari Gravity Payments yang berani menempatkan karyawan di pusat keputusan. Mereka bukan sekadar mendengar; mereka mempelajari bagaimana keputusan seperti itu meningkatkan loyalitas, produktivitas, dan kepercayaan tim.
Tetapi mereka paham bahwa tidak semua pemimpin memiliki keberanian yang sama. Tidak semua pemimpin memiliki perspektif yang sama. Ada pemimpin yang melihat manusia sebagai aset utama, dan ada pemimpin yang entah disadari atau tidak melihat interior sebagai prioritas utama.
Tidak ada yang berani mengatakannya langsung, tetapi perbandingan itu ada. Ia tumbuh di kepala banyak orang, walau tidak pernah keluar sebagai kalimat lantang.
Sisi Manusiawi yang Tak Pernah Hilang
Di balik segala kejanggalan dalam kepemimpinan Alessia, karyawan masih menyimpan empati. Mereka tahu Alessia tidak bermaksud buruk. Mereka paham ia hanya terjebak pada keyakinan bahwa ruangan yang indah akan menyelesaikan banyak hal.
Mereka tetap menghormatinya sebagai pemimpin. Mereka tetap mengikuti arahannya selama masih masuk akal. Tetapi dalam hati kecil mereka, ada keinginan yang tidak pernah padam: keinginan untuk dipahami.
Mereka berharap suatu hari Alessia akan duduk bersama mereka, mendengar aspirasi mereka, melihat beban yang mereka pikul, dan memahami bahwa prioritas perusahaan bukan lagi soal karpet atau warna dinding.
Ketika Ruang Bicara, Pemimpin Mendengar
Tak ada yang tahu kapan kesadaran itu muncul. Mungkin ketika Alessia suatu hari menatap ruang kerja yang sudah terlalu sering ia tata ulang. Mungkin ketika ia mulai merasa bahwa keindahan ruang justru terasa hampa tanpa hubungan yang baik dengan timnya. Atau mungkin ketika ia melihat karyawan yang bekerja tanpa keluhan, meski banyak yang mereka harapkan belum dipenuhi.
Dan ketika hari itu tiba, ia mungkin akan berkata dalam hati:
“Ruang ini sudah cukup indah. Sekarang saatnya membenahi hal yang jauh lebih penting: prioritas dan arah yang selama ini terabaikan.”
berikut kisah inspiratifnya :